Cari Blog Ini

Doa Sebelum Belajar Dan Sesudah Belajar Beserta Artinya

Pada kesempatan kali ini kami akan berbagi bacaan doa ini,  sebelum belajar dan sesudah belajar lengkap dengan artinya. Belajar atau men...

Sabtu, 21 Oktober 2017

Mengenal Tentang Ikhlas

Tentu kita sering mendengar orang menyebut-nyebut kata ikhlas. Namun banyak orang yang tidak memahami apa sebenarnya hakekat dari istilah ”ikhlas” ini. Untuk lebih jelasnya mungkin bisa kita lihat dari kisah berikut ini :





Rasulullah Saw. Menatap satu persatu para sahabat yang sedang berkumpul dalam majelis. Suasana sangat hening. Tiba-tiba ada seorang hadirin yang berkata, ”Ya Rasulullah, bila pertanyaanku ini tidak menimbulkan kemarahan bagi Allah, sudilah kiranya engkau menjawabnya.” Apa yang hendak engkau tanyakan itu?” tanya Rasulullah dengan nada suara yang begitu lembut. Dengan sikap yang agak tegang, si sahabat itu pun bertanya, ”Siapakah di antara kami yang akan menjadi ahli surga?.”

Pertanyaan yang sungguh keterlaluan, setengah sahabat menilainya mengandung ’ujub (bangga atas diri sendiri) atau riya’ dan tidak sedikit yang murka. Adalah Umar bin Khattab yang sudah terlebih dahulu bereaksi, bangkit untuk menghardik si penanya. Untunglah rasulullah Saw. menoleh ke arahnya sambil memberi isyarat untuk menahan diri.

Rasulullah menatap ramah. Beliau menjawab dengan tenangnya, ”Engkau lihatlah ke pintu, sebentar lagi orang itu akan muncul.” Lalu, setiap mata menoleh ke ambang pintu, dan setiap hati bertanya-tanya siapa gerangan orang hebat yang disebut Rasulullah sebagai ahli surga itu.

Namun, manakala orang itu mengucapkan salam kemudian menggabungkan diri ke dalam majelis, keheranan semakin bertambah. Sosok tubuh itu tidak lebih dari seorang pemuda sederhana. Ia adalah wajah yang tidak pernah mengangkat kepala bila tidak ditanya dan tidak pernah membuka suara bila tidak diminta. Ia bukan pula termasuk dalam daftar sahabat dekat rasulullah.

Apa kehebatan pemuda ini? Setiap sahabat penasaran menunggu penjelasan rasululllah Saw. Menghadapi kebisuan ini, Rasulullah Saw bersabda, ”Setiap gerak-gerik dan langkah perbuatannya hanya ia ikhlaskan semata-mata mengharapkan ridha Allah. Itulah yang membuat Allah menyukainya.”

Bagai duri tajam yang menusuk dada, semua yang hadir tersentak. Ikhlas, alangkah indahnya makna yang terkandung di dalamnya. Ikhlas bersih dari segala maksud pribadi, dari segala pamrih dan riya’, mengharap pujian dari orang, bebas dari perhitungan untung rugi material. Ikhlas bersih dari segala hal yang tidak disukai Allah. Ikhlas dalam menjadikan Allah sebagai pencipta, pemilik, pemelihara, dan penguasa alam raya. Ikhlas dalam menjadikan Allah sebagai satu-satunya zat yang diharapkan, ditakuti, dicintai, diikuti. Satu-satunya zat yang diabdi dan disembah. Ikhlas menerima Muhammad Saw. sebagai teladan, penjelas, penyampai risalah Islam yang sempurna, dan ikhlas menerima Al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Dalam sebuah hadis lain Rasulullah bersabda, ''Ana madiinatul ilmi (sayalah kota segala ilmu). Tetapi, ada satu pertanyaan, yang Rasullullah tidak langsung menjawabnya. ”Apa gerangan pertanyaan itu sehingga Rasulullah harus meminta waktu, mengernyitkan kening dan memeras otak?” ''Wahai Baginda Rasul apa yang dimaksud dengan ikhlas?”, tanya seorang sahabatnya.

Setelah berdiam, Rasulullah memusatkan perhatian, dan menyampaikan pertanyaan serupa kepada Malaikat Jibril As. ''Aku bertanya kepada Jibril As tentang ikhlas, apakah ikhlas itu?'' Lalu Jibril bertanya kepada Tuhan Yang Maha Suci tentang ikhlas, apakah sebenarnya? Allah SWT menjawab Jibril dengan berfirman, ''Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Ku-cintai.''

Kalau gambaran ikhlas itu sebagaimana diajarkan Allah melalui Jibril yang disampaikan kepada Baginda Rasul tersebut, maka betapa banyaknya di antara kita yang tidak memilikinya. Sebab, hanya hamba-hamba yang dicintai Allah saja yang dapat memiliki ''makhluk'' ikhlas ini. Menurut Imam al-Qusyairi an-Naisabury, bila seseorang memiliki sifat ikhlas, ia akan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup, apa yang dilakukan semata-mata untuk Allah meski yang dia perbuat untuk mengurangi penderitaan sesama manusia. Ia akan selalu membantu orang, dengan alasan karena Allah memang Dzat yang senang membantu. Ia akan bekerja kalau Allah yang menjadi tujuannya. Wallahul Hadi.

Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorangpun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi shalallahu‘alaihi wasallam. Dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. (QS. Al Ahzaab: 50).

Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS. An Nahl: 66). Maka tatkala mereka berputus asa daripada (putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. Berkatalah yang tertua diantara mereka: 

“Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya”. (QS. Yusuf: 80). Yaitu para saudara Yusuf menyendiri untuk saling berbicara diantara mereka tanpa ada orang lain yang menyertai pembicaraan mereka.

Definisi ikhlas menurut istilah syar’i (secara terminologi) Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. 

Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu). Ada juga mengatakan bahwa ikhlas adalah “samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di batin”, adapun riya’ yaitu dzohir (amalan yang nampak) dari seorang hamba lebih baik daripada batinnya dan ikhlas yang benar (dan ini derajat yang lebih tinggi dari ikhlas yang pertama) yaitu batin seseoang lebih baik daripada dzohirnya, yaitu engkau menampakkan sikap baik dihadapan manusia adalah karena kebaikan hatimu, maka sebagaimana engkau menghiasi amalan dzohirmu dihadapan manusia maka hendaknya engkaupun menghiasi hatimu dihadapan Robbmu. Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah, “melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah”, yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang memperhatikanmu karena engkau selalu memandang kepada Allah, yaitu seakan-akan engkau melihat Allah yaitu sebagaimana sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang ihsan “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya dan jika engkau tidak melihatNya maka sesungguhnya Ia melihatmu”. Barangsiapa yang berhias dihadapan manusia dengan apa yang tidak ia miliki (dzohirnya tidak sesuai dengan batinnya) maka ia jatuh dari pandangan Allah, dan barangsiapa yang jatuh dari pandangan Allah maka apalagi yang bermanfaat baginya? Oleh karena itu hendaknya setiap orang takut jangan sampai ia jatuh dari pandangan Allah karena jika engkau jatuh dari pandangan Allah maka Allah tidak akan perduli denganmu dimanakah engkau akan binasa, jika Allah meninggalkan engkau dan menjadikan engkau bersandar kepada dirimu sendiri atau kepada makhluk maka berarti engkau telah bersandar kepada sesuatu yang lemah, dan terlepas darimu pertolongan Allah, dan tentunya balasan Allah pada hari akhirat lebih keras dan lebih pedih. (Dari ceramah beliau yang berjudul ikhlas. Definisi-definisi ini sebagaimana juga yang disampaikan oleh Ahmad Farid dalam kitabnya “Tazkiyatun Nufus” hal. 13)

Berkata Syaikh Abdul Malik, “Ikhlas itu bukan hanya terbatas pada urusan amalan-amalan ibadah bahkan ia juga berkaitan dengan dakwah kepada Allah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam saja (tetap) diperintahkan oleh Allah untuk ikhlas dalam dakwahnya”.

Katakanlah, “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108). Yaitu dakwah hanyalah kepada Allah bukan kepada yang lainnya, dan dakwah yang membuahkan keberhasilan adalah dakwah yang dibangun karena untuk mencari wajah Allah. Aku memperingatkan kalian jangan sampai ada diantara kita dan kalian orang-orang yang senang jika dikatakan bahwa kampung mereka adalah kampung sunnah, senang jika masjid-masjid mereka disebut dengan masjid-masjid ahlus sunnah, atau masjid mereka adalah masjid yang pertama yang menghidupkan sunnah ini dan sunnah itu, atau masjid pertama yang menghadirkan para masyayikh salafiyyin dalam rangka mengalahkan selain mereka, namun terkadang mereka tidak sadar bahwa amalan mereka hancur dan rusak padahal mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya. Dan ini adalah musibah yang sangat menyedihkan yaitu syaitan menggelincirkan seseorang sedikit-demi sedikit hingga terjatuh ke dalam jurang sedang ia menyangka bahwa ia sedang berada pada keadaan yang sebaik-baiknya. Betapa banyak masjid yang aku lihat yang Allah menghancurkan amalannya padahal dulu jemaahnya dzohirnya berada di atas sunnah karena disebabkan rusaknya batin mereka, dan sebab berlomba-lombanya mereka untuk dikatakan bahwa jemaah masjid adalah yang pertama kali berada di atas sunnah, hendaknya kalian berhati-hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar